banner-detik

peace of mind

Social Media Persona: Pilih Real atau Perfect?

seo-img-article

Saya rasa, tahun 2017 ini semua orang sudah menjadi selebriti. Lebih tepatnya lagi, semua orang yang punya minimal satu akun media sosial.

Kenapa saya bilang selebriti? Kalau dulu cuma selebriti yang bisa dikenal banyak orang, sekarang orang biasa pun bisa jadi terkenal. Pasti ada kan, orang yang kita nggak kenal personally tapi seenggaknya kita tahu siapa namanya, pernah sekolah dimana, atau temannya siapa (*mental stalker*) Lewat akun social media juga, kita jadi punya wadah personal branding yang bisa jadi cerminan diri, entah itu ke calon mertua, sepupu-sepupu pacar, atau calon bos.

Yang jelas, social media adalah lapisan pertama bagi dunia untuk tahu siapa kita. Tapi, lapisan pertama ini pun tantangannya udah sangat banyak. Ada banyak sekali “pakem” atau do’s and dont’s yang harus diikuti supaya personality yang ada di balik akun tersebut image-nya tetap kuat dan positif.

Bicara soal personality, Female Daily sendiri adalah media digital yang sangat bergantung pada social media dan sharing platform seperti Instagram dan Youtube. Konten-konten FD, baik di artikel maupun Youtube sangat opinionated dan mengedepankan personality yang berbeda-beda dari pada editor, kontributor, dan juga talent video. Karena itulah goal dari tim konten FD adalah menciptakan konten yang fresh, bukan berarti harus selalu beda dari yang lain, tapi yang pasti menawarkan personal touch dari orang-orang yang membuatnya.

Berangkat dari konsep personality tersebut, maka tentu talent-talent yang sering muncul di video FD juga nggak luput dari imperfections. Nggak jarang ada komentar-komentar netizen yang pointing out soal jerawat, mata panda, pori-pori besar, bibir pecah-pecah, dan lain-lain. Believe it or not, ada juga orang yang pernah meminta kita memakai blurring filter di kamera supaya masalah-masalah kulit para talent video bisa lebih tersamarkan di layar. Hahaha.

Screen Shot 2017-09-07 at 6.43.30 AMKomentar-komentar yang sifatnya physical seperti ini lantas menimbulkan pertanyaan: seberapa sempurnakah penampilan seorang online personality yang diinginkan audience? Meskipun nggak semuanya bernada negatif, tapi constant reminder akan “kekurangan” di wajah begitu sering disebut sehingga secara nggak langsung kadang menjadi tekanan. Apakah tuntutan seorang online personality juga sekarang sudah sampai tahap selebriti, yang memang harus kelihatan nyaris sempurna di depan kamera? Apakah karena talent video ini memutuskan untuk tampil di Youtube, artinya mereka menyerahkan diri dan harus bisa menerima komentar apapun tentang kondisi fisiknya?

Kalau kita berkaca dari tren no-makeup selfie dari selebriti Hollywood, unggahan foto-foto selebriti tanpa makeup yang seharusnya menginspirasi perempuan untuk “berani tampil apa adanya” ini juga nggak lepas dari kritik. Kritik tersebut di antaranya adalah perawatan kulit mahal para seleb ini yang nggak disebut oleh mereka, sampai bagaimana no-makeup movement justru menetapkan standar kecantikan baru yang nggak bisa diikuti semua orang.

“Ya iyalah flawless, mukanya aja mulus banget.” “Ya iyalah Gal Gadot berani foto tanpa makeup, udah cakep dari sananya juga.” You can never win the internet, obviously, but surely you can shape your own perspective on how to respond to these kind things.

FD sendiri sebagai pembuat konten selalu berusaha untuk merepresentasikan berbagai macam perempuan di luar sana. We never strive for perfection when it comes to appearance anyway, so we’re fully aware and always try to accept of our flaws. Itulah serunya sharing platform, di mana kita bisa mengalokasikan bad vibes yang muncul akibat insecurities menjadi sebuah forum diskusi yang informatif. Terlalu memuja “keindahan” yang kita lihat di social media memang nggak baik, tapi menjadi bitter dan judgemental terhadap apapun juga nggak bagus. Semua harus serba seimbang.

Kak Affi juga sudah pernah menulis bagaimana kehidupan seseorang nggak selalu seindah apa yang kita lihat di social media. Menurut saya, kunci supaya nggak gampang minder, jiper, atau negative thinking sama apapun yang kita lihat di social media adalah merasa nyaman dengan diri sendiri. Dalam definisi saya, nyaman dengan diri sendiri berarti kita bisa berdamai dengan segala kelebihan dan kekurangan kita, serta bisa menyeimbangkan ekspektasi dan realita. In this case, bisa berdamai dengan realita bahwa nggak ada orang yang sempurna, tapi tentu kita bisa berusaha untuk jadi lebih baik. Nggak cuma dari penampilan aja tentunya, tapi di semua aspek kehidupan.

Sebagai audience yang smart, ada baiknya juga kita berpikir dua kali sebelum menuliskan komentar. Pertama, pesan apapun harus disampaikan dengan sopan dan beretika. Begitupun dengan kritik. Percayalah, betapapun kritik yang disampaikan bernilai, kalau ditulis dengan cara yang nyebelin atau nyinyir, value-nya akan langsung turun dan kamu akan dipandang sebagai internet troll. Add something to the discussion, don’t just be salty for your own satisfaction.

Slow Down

Please wait a moment to post another comment