banner-detik

beauty school

Up Close and Personal: Petty S. Fatimah, Editor in Chief of Femina Magazine

seo-img-article

Nama Petty S. Fatimah, yang akrab dipanggil dengan Mbak Petty, merupakan sosok yang dikagumi banyak orang. Pekerjaannya sebagai Editor in Chief dan Chief Community Officer di majalah Femina membuat Mbak Petty terlihat sebagai superwoman di mata saya yang sudah terlanjur cinta dengan dunia jurnalistik. Saya yakin banyak pembaca majalah Femina ataupun rekan kerja dan relasi Mbak Petty yang juga berpikiran sama. 🙂

Majalah Femina yang minggu lalu baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-42 terus menjadi sumber informasi banyak perempuan. Kesuksesan majalah mingguan ini tentunya nggak lepas dari peran Mbak Petty. Kami mendapat waktu untuk berbincang dan mendengar cerita perjalanan karir Mbak Petty, pendapatnya tentang tulisan jurnalistik, sampai apa yang dilakukannya saat “me” time. Yuk, simak perbincangannya berikut ini.

petty-fatimah-04-femaledailyCeritakan dong, Mbak, bagimana awalnya bisa bekerja di majalah. Apakah dari dulu memang sudah ingin kerja di media?

Saya nggak pernah serius, sih, berpikir bahwa menulis bisa menjadi pekerjaan. Apalagi dulu waktu SMU itu saya ini anak IPA, jadi nggak pernah berpikir saya akan kuliah di komunikasi. Aim-nya sama seperti banyak orang, ya. Mau sekolahnya di ITB ambil Farmasi, nggak lulus. Tahun kedua coba lagi, nggak lulus juga. Saya nggak pernah berpikir bahwa menulis dan bekerja di media itu bisa menjadi future. Perlu satu-dua tahun bagi saya bilang OK untuk mau sekolah jurnalistik.  Makanya saya ambil jurnalistik yang susah. Pada masa itu dianggap susah, dan umumnya perempuan masuk ke humas. Susahnya di mana? Lebih banyak skill yang perlu dimiliki. Saya akhirnya kuliah di Unpad ambil jurnalistik. Punya part-time job di radio 3,5 tahun selama kuliah. Udah mulai menulis juga, tapi di koran lokal Bandung.  Tapi dari situ aja, saya nggak pernah tertarik untuk menulis yang non-lifestyle. Saya memulai karir di majalah Gadis. Pokoknya right after school.  The first job, dan itu sampai sekarang.

Kenapa pilih Gadis?

Saya baca Gadis pada saat itu. Saya cuma bilang gini, “Gila, ya, majalah ini bagus sekali. Menarik banget orang yang kerja di media ini.” Isi Gadis pada era itu lebih umum dan lebih lebar, anak kuliahan masih bisa baca. Kalau sekarang ‘kan, untuk anak SMP. Sampai saya hafal, orang-orang di majalah itu siapa. Saya bahkan ngelamar itu saat belum lulus, masih ada dua bulan lagi nunggu wisuda, ternyata waktu tes segala macem diterima. Saya baru bilang ke mereka bahwa saya nggak bisa masuk sekarang karena belum lulus sebenarnya, terus mereka tanya “OK, butuh berapa bulan?” “Dua bulan.” “OK.” Dan mereka mau nunggu.  Saya merasa baik banget ya, tapi saya ‘kan nggak punya pengalaman melamar pekerjaan di tempat lain, jadi saya pikir itu biasa aja.

Jadi Editor in Chief Gadis setelah berapa tahun, Mbak?

Saya jadi Editor in Chief Gadis setelah bekerja 7 tahun.  Lalu tahun 2002 saya diminta pindah ke Femina. Resmi pindah ke Femina tahun 2003, tapi dari tahun 2002 sudah mulai jalan dua kaki.

Pengalaman paling berkesan selama bekerja di majalah remaja apa, nih, Mbak?

Banyak pengalaman lucunya. Tapi kalau di Gadis, tuh, saya cuma senewen kalau dipanggil sama Kepala Sekolah. Soalnya ternyata ada tulisan wartawan yang menurut saya witty, lucu, tapi ternyata menyinggung pihak lain. Bekerja di majalah remaja membuat saya harus lebih peka dan bisa mengatasi emergency karena kita nggak tahu apa yang akan terjadi. Nggak gampang, lho, untuk bekerja dengan remaja.  Kami harus memposisikan sebagai teman mereka. Masa saya bekerja di Gadis, musik lagi besar, ‘kan. Saat itu ada salah satu personil boyband yang mengaku kalau dirinya gay, langsung telepon nggak berhenti berdering. Ada yang nangis, ada yang kecewa, nggak terima, dan ada juga yang nanya gay itu apa. Dan Gadis mengangkat isu itu dalam artikel dengan bahasa Gadis yang bisa dimengerti remaja. Saya merasa dididik di Gadis bagaimana menanggapi dan men-service pembaca, baik informasi itu harus baru, dan harus tahu ujung ke ujung tentang selebriti yang sedang digandrungi.

Masa transisi dari Gadis ke Femina, gimana tuh, Mbak? Tantangan apa aja yang dihadapi?

Waktu transisi itu saya merasa tantangan saya ada beberapa, dan itu berat. Pertama, saya bukan orang yang punya sejarah di Femaina.  Saya bukan orang yang bekerja di majalah itu, ‘kan. Saya melihat Femina sebelumnya hanya sebagai pengamat. Kalau pengamat ‘kan ngomel, kok ini begini kok itu begitu, namanya juga pengamat, ya. Jadi saya perlu beradaptasi dengan tim yang sudah ada. Susah. Banyak teman-teman di Femina yang usianya jauh di atas saya. Tantangan pertama saya adalah bagaimana saya menjadi seseorang yang bisa diterima, dan memimpin mereka untuk membuat sesuatu yang baru.

Tantangan yang kedua adalah saat saya masuk, Femina sedang melakukan revamp. Sebetulnya revamp-nya lebih ke tata letak, tapi pada ujungnya revamp itu terjadi untuk seluruh konten, jadi pendekatannya diubah, sebenernya isinya itu-itu aja. Dan saat itu saya bekerja sama dengan orang asing sebagai konsultannya. Jadi saya harus bekerjasama dengan orang asing yang nggak tahu sejarah Femina seperti apa, sementara saya punya anak-anak buah yang hidup dengan gaya kerja yang lama tiba-tiba harus diubah. Salah satu yang paling berat adalah menulis pendek. Orang-orang Femina itu ‘kan menulisnya panjang-panjang dan mendalam. Kita ditantang oleh konsultannya, “Majalah ini mingguan, kalau tulisannya panjang-panjang, kapan orang membacanya?” Jadi harus tetap deep, tapi pendek, dan itu susah. Adapatasinya mungkin perlu waktu sekitar 2 tahun.

Tantangan terakhir, majalah ini legacy-nya panjang, jadi yang ngelihat saya itu orang yang dulu membaca Femina, yang sekarang membaca Femina, dan publik yang luas. Saya ditantang harus lebih peka.  Kepekaan itu diuji untuk macam-macam, yaitu semua aspek yang ditulis Femina.

Dengan semakin besarnya pengaruh internet dan social media, ada efek yang terasa nggak di media cetak?

Kalau saya melihatnya perkembangan media itu tidak bisa diprediksi. Di era dulu, ketika radio hadir, orang bilang media cetak akan mati. Ketika radio muncul di sebuah kota kecil di Amerika, ada sandiwara radio yang menggambarkan bumi diinvasi dari Mars. Pakai sound effect; radio itu theater of mind, ‘kan. Yang bermain itu di kepala kita. Orang di desa itu ketakutan dan berlarian ke luar rumah karena menganggap itu benar. Pada saat itu orang membahas secara ilmiah bahwa radio itu lengkap, karena ada suara yang didengar dan telinga kita distimulasi oleh sound effect, lagu, suara dan segala macam bunyi yang bisa didengar. Banyak orang yang memprediksi koran akan mati, media cetak akan mati.  Tapi pada kenyataannya, dua-duanya hidup. Begitu juga saat TV muncul, audio visual, ‘kan. Radio dan media cetak ternyata tetap hidup. Jadi dengan kehadiran internet, social media, itu merupakan perkembangan media. Yang harus kita lakukan adalah beradaptasi. Beradaptasi itu tidak berarti bahwa majalah akan mati. Kita lihat pembacanya. Sekarang pembacanya lebih suka kenyamanan. Yang kita lakukan adalah tersedia aja di mana-mana, tersedia di print dan online, jadi di mana-mana tersedia.

Mulai di tahun 2010, Editor in Chief di Femina Group juga mendapat jabatan baru sebagai Chief Community Officer. Kami melihat komunitas-komunitas yang terbentuk di pembaca.  Kami akan membagi-bagi sesuai dengan minatnya, jadi untuk setiap komunitas, akan dilayani mereka dengan informasi yang mereka butuhkan dan ada di semua kanal Femina. Ada program khusus untuk wanita wirausaha, namun tidak semua komunitas kita buatkan program yang lengkap, misalkan travel, kita support dengan memberikan konten yang masif. Jadi memang berbeda-beda dan tergantung seberapa besar komunitas itu.

Slow Down

Please wait a moment to post another comment